Menjadi rumah bagi 400 ribu orang, di Ghouta Timur, Suriah telah dikepung oleh pasukan yang setia kepada Bashar al-Assad selama bertahun-tahun, untuk melawan para pemberontak. Pasukan pro-pemerintah Suriah dan Rusia telah menembakkan ratusan roket dan menjatuhkan bom barel dari helikopter ke kota dan desa di wilayah tersebut, walau mereka mengatakan bahwa mereka tidak menargetkan warga sipil.Sedikitnya 27 orang telah terbunuh dan lebih dari 200 lainnya luka-luka pada Rabu (21/2), sementara setidaknya 299 orang telah terbunuh dalam tiga hari terakhir, menurut Pengamat Suriah untuk Hak asasi Manusia.
Oleh: Samuel Osborne (The Independent)
Ghouta Timur—wilayah yang dikuasai pemberontak di ibu kota Suriah—telah dilanda roket, bom, dan artileri dalam beberapa pengeboman paling hebat yang terlihat selama perang sipil yang telah berlangsung selama delapan tahun di negara itu.
Sedikitnya 27 orang telah terbunuh dan lebih dari 200 lainnya luka-luka pada Rabu (21/2), sementara setidaknya 299 orang telah terbunuh dalam tiga hari terakhir, menurut badan pengawas perang Pengamat Suriah untuk Hak asasi Manusia.
Tiga belas korban tewas lainnya—termasuk lima anak-anak—diselamatkan dari puing-puing rumah yang hancur pada Selasa (19/2) di desa Arbin dan Saqba, badan pengamat tersebut melaporkan.
Jumlah korban yang mengejutkan ini telah membuat paramedis dan dokter kewalahan selama beberapa hari terakhir.
DI MANA GHOUTA TIMUR?
Ghouta Timur adalah sebuah wilayah pertanian padat penduduk di pinggiran kota Damaskus.
Sebagai rumah bagi 400 ribu orang, Ghouta telah dikepung oleh rezim Bashar al-Assad sejak tahun 2013.
Para pekerja Pertahanan Sipil Suriah—yang juga dikenal sebagai Helm Putih—mengatakan bahwa pasukan pemerintah menargetkan kota tersebut dengan serangan udara, tembakan artileri, dan bom barel, yang berisi minyak mentah, drum minyak yang berisi bahan peledak, yang dijatuhkan dari helikopter di ketinggian.
SIAPA YANG BERPERANG DI GHOUTA TIMUR?
Ghouta Timur adalah wilayah besar terakhir di dekat ibu kota Suriah yang masih berada di bawah kendali pemberontak.
Ghouta Timur adalah salah satu dari sejumlah “zona de-eskalasi”, di bawah inisiatif gencatan senjata diplomatik yang disepakati oleh sekutu Suriah, Rusia dan Iran, dengan Turki, yang telah mendukung pemberontak tersebut.
Namun, sebuah kelompok pemberontak yang sebelumnya berafiliasi dengan al-Qaeda, tidak termasuk dalam gencatan senjata tersebut dan memiliki kehadiran yang sangat sedikit di sana.
Pasukan pemerintah Suriah dan pesawat Rusia tidak menunjukkan tanda-tanda akan meredakan serangan udara dan artileri tanpa pandang bulu mereka, sejak mereka meningkatkan serangan pada Minggu (18/2).
Pasukan pro-pemerintah telah berkumpul di sekeliling wilayah yang dikuasai pemberontak sejak akhir pekan lalu, untuk apa yang diperkirakan menjadi serangan terakhir.
MENGAPA KORBAN TEWAS DI GHOUTA TIMUR BEGITU TINGGI?
Pasukan pro-pemerintah telah menembakkan ratusan roket dan menjatuhkan bom barel dari helikopter ke kota dan desa di wilayah tersebut.
Pemerintah Suriah dan sekutunya Rusia—yang telah mendukung Assad dengan kekuatan udara sejak tahun 2015—mengatakan bahwa mereka tidak menargetkan warga sipil. Mereka juga membantah menjatuhkan bom barel tanpa pandang bulu dari helikopter, yang penggunaannya telah dikecam oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pengamat Suriah untuk Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa banyak pesawat di atas Ghouta tampaknya adalah milik Rusia. Masyarakat Suriah mengatakan bahwa mereka dapat membedakan antara pesawat Rusia dan Suriah, karena pesawat Rusia terbang lebih tinggi.
Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, menyebut tuduhan bahwa Rusia bertanggung jawab atas beberapa kematian warga sipil di Ghouta Timur sebagai “tanpa dasar”.
Para pemberontak juga telah menembakkan mortir ke distrik Damaskus dekat Ghouta Timur, melukai empat orang pada Rabu (21/2), seperti yang dilaporkan media pemerintah. Tembakan mortir para pemberontak membunuh setidaknya enam orang pada Selasa (19/2).
“Hari ini, daerah pemukiman, hotel Damaskus, serta Pusat Rekonsiliasi Suriah milik Rusia, mendapat pengeboman besar-besaran oleh kelompok bersenjata ilegal dari Ghouta timur,” kata Kementerian Pertahanan Rusia.
Kondisi di Ghouta Timur telah semakin mengkhawatirkan bagi badan-badan pemberi bantuan, bahkan sebelum serangan terakhir, karena kekurangan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya, yang menyebabkan penderitaan dan penyakit.
APA REAKSI INTERNASIONAL TERHADAP SITUASI DI GHOUTA TIMUR?
Tingginya jumlah korban sipil telah menimbulkan kritik global.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan kemarahannya dengan mengeluarkan sebuah pernyataan kosong, karena, katanya, “tidak ada kata-kata yang cukup adil untuk anak-anak yang terbunuh, ibu mereka, ayah mereka, dan orang-orang yang mereka cintai”.
Pesan simbolis dari Direktur Regional UNICEF, Geert Cappalaere, berisi sepuluh baris tanda kutip yang telah dikosongkan, untuk menunjukkan teks yang hilang.
Dalam sebuah catatan kaki, tertulis: “Kami tidak lagi memiliki kata-kata untuk menggambarkan penderitaan anak-anak dan kemarahan kami. Apakah orang-orang yang menimbulkan penderitaan ini masih memiliki kata-kata untuk membenarkan tindakan kejam mereka?”
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyerukan penahanan diri di Suriah, dan agar diberikannya akses terhadap orang-orang yang terluka, setelah eskalasi mematikan dalam pertempuran di dan sekitar Damaskus.
Dalam sebuah pernyataan, dikatakan bahwa petugas medis di Ghouta Timur tidak dapat mengatasi jumlah korban luka yang tinggi, dan wilayah tersebut tidak memiliki cukup obat-obatan dan persediaan.
Marianne Gasser, kepala delegasi ICRC di Suriah, mengatakan bahwa “korban yang terluka akan mati karena mereka tidak dapat diobati tepat waktu.”
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyerukan gencatan senjata kemanusiaan untuk memungkinkan evakuasi warga sipil.
Serangan tersebut “sengaja menargetkan wilayah berpenghuni dan infrastruktur sipil, termasuk area medis. Serangan ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional,” kata Kementerian Luar Negeri Prancis dalam sebuah pernyataan.
“Tindakan ini melibatkan tanggung jawab rezim Suriah, tapi juga tanggung jawab Rusia dan Iran, yang merupakan pendukung utama Suriah, dan dalam kerangka kesepakatan Astana, telah berjanji untuk melakukan gencatan senjata yang seharusnya diberlakukan di Ghouta.”
Seorang juru bicara untuk Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Heather Nauert, mengatakan bahwa AS “sangat prihatin” mengenai eskalasi pengepungan pemerintah Suriah. Dia kemudian mengecam apa yang dia sebut “pengepungan dan taktik kelaparan” oleh pasukan rezim Suriah.
Sekretaris Jenderal PBB telah menyerukan penghentian segera “semua kegiatan perang” di Ghouta Timur, di mana dia mengatakan bahwa 400 ribu orang hidup “di neraka dunia.”
Antonio Guterres mengatakan bahwa penghentian pertempuran harus memungkinkan bantuan kemanusiaan untuk mencapai para korban yang membutuhkan, dan evakuasi terhadap sekitar 700 orang yang membutuhkan perawatan medis yang mendesak.
Guterres mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB pada Rabu (21/2), “ini adalah tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung di depan mata kita, dan saya tidak berpikir kita bisa membiarkan ini terjadi dengan cara yang mengerikan ini.”
Keterangan foto utama: Seorang pria membawa seorang anak laki-laki yang terluka, saat ia berjalan di atas reruntuhan bangunan yang rusak, di kota yang dikepung pemberontak, Hamouriyeh, Ghouta Timur, dekat Damaskus. (Foto: REUTERS/BassamKhabieh)
Sumber:
https://www.matamatapolitik.com/siapa-yang-bertempur-di-ghouta-timur-dan-mengapa-korban-jiwa-begitu-banyak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar