Assalamu’alaikum Sobat CSI FEB. Apa kabar? Semoga senantiasa sehat selalu serta tetap dalam lindungan Allah Swt yaa Aamiin. Udah lam cimin ga menyapa teman-teman semua hehe semoga dengan tulisan pertama di tahun ini buat kita semakin terpacu untuk memperdalam ilmu yaa terlebih bahasan kali ini pas banget nih buat kita sebagai anak FEB. Wah apa yaa? Yuk langsung aja Check it Out..
Belum lama ini kita mendengar
berita duka putra sulung Gubernur Jawa Barat, yakni Emmeril Kahn Mumtadz atau
yang akrab disapa Eril wafat karena tenggelam di Sungai Aare, Bern, Swiss.
Mungkin dari banyaknya pemberitaan yang kita dengar, adakalanya kita yang
hakikatnya sedang menunggu antrian untuk menghadap-Nya, berpikir tentang apa
yang kita kejar selama ini, rumah mewah kah? Mobil mewah yang tetap saja
rodanya empat kah? Atau mungkin pintu lemari es berlapis emas? Silakan
teman-teman menjawabnya dalam hati.
Pencapaian demi pencapaian, harta
pertama hingga sekian, tuan tanah di daerah sini dengan yang sana, pada
hakikatnya semua itu memang dijadikan impian bagi makhluk yang dititipi hawa
nafsu ini. Lantas, benarkah setelah memperoleh itu semua, dapat dipastikan
bahwa kita lah yang akan menikmatinya hingga puas?
Abu Dzar Al Ghifari ra, salah
seorang sahabat yang masyhur dan dikenal ahli zuhud, menurut riwayat ia pun
tidak pernah mengumpulkan harta juga tidak menyukai orang yang menumpuk harta.
Menurutnya, hakikat pemilik harta tidak lain hanyalah takdir, ahli waris, dan yang
terakhir diri sendiri. Mengutip buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya
Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rahimahullah bahwa hakikat
pemilik harta yang pertama ialah takdir. Ia begitu saja mengambil harta yang
baik maupun yang buruk tanpa menunggu apapun. Maka jangan sampai takdir datang
mengalahkan segalanya, sehingga harta yang kita miliki akan sia-sia.
Kedua, ahli waris yang menanti
harta. Jika seseorang wafat, mereka akan mengambilnya dan bahkan banyak di antaranya
menjadi sebab permusuhan satu sama lain. Dalam beberapa hari mereka akan
berduka atas kepergianmu, namun setelah itu diam dan tidak mempertanyakanmu
lagi. Sangat sedikit di antara mereka yang kemudian menyedekahkan hartanya lalu
menghadiahkan pahalanya untukmu yang telah menjadi mayit.
Ketiga adalah dirimu sendiri.
Jika dapat, jangan menjadi yang paling lemah di antara ketiganya, yakni
usahakan semampu diri kita untuk menyimpan harta itu di akhirat.
Nabi SAW bersabda, “Orang selalu
mengatakan, ‘Hartaku, hartaku.’ Padahal, hartanya hanyalah yang telah ia makan
dan ia habiskan, yang telah ia pakai dan ia usangkan, atau yang telah ia
gunakan di jalan Allah dan ia kumpulkan di tabungan untuk dirinya sendiri. Dan
penggunaan untuk selain itu sebenarnya ia kumpulkan untuk orang lain.”
Juga dalam sabda Nabi SAW,
“Siapakah di antara kalian yang lebih menyukai harta waris daripada hartanya
sendiri? Sahut para sahabat ra, “Ya Rasulullah, siapakah yang lebih menyukai
harta orang lain daripada hartanya sendiri?” Jawab Beliau, “Harta miliknya
ialah harta yang telah ia infakkan dan yang kamu tinggalkan adalah milih ahli
warismu.”
Dikatakan oleh Amr bin al-Haarits
dalam hadist riwayat Al-Bukhari, tatkala Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
wafat, beliau tidak meninggalkan sekeping dirham pun juga sekeping dinar, tidak
juga seorang budak lelaki dan budak wanita. Beliau tidak meninggalkan apa pun
kecuali begolnya putih dan senjata beliau, serta sebidang tanah, seluruhnya
Nabi sedekahkan (diwakafkan).
Semoga dengan tulisan singkat ini, semangat kita untuk mendapatkan hartaku yang betul-betul menjadi hartaku semakin besar. Kita tidak lagi mengumpulkan harta tanpa menjadikannya teman kita di akhirat kelak. Bahkan, tingkatan paling sempurna dalam menginfakkan harta ialah memberikan apa yang paling kita cintai seperti dalam firman Allah SWT : “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang paling kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran:92).
Akhirul Kalam, Wasalamu'alaikum Warahmatullahi
Wabarokatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar